Disusun oleh M. Rofiannur Al Hamaamuh, SN, DH.
Hukum Menyucikan Mushaf Yang Terkena Najis. Al Qur'an adalah Kalam Allah yang suci yang tidak ada satu makhluk pun yang bisa menirukan isi isi yang ada didalam Al Qur'an. Tetapi, jika kita pernah suatu hari menemukan mushaf yang terkena najis, apakah wajib bagi kita untuk menyucikannya?. Mari kita bahas satu persatu.
Hukum Menyucikan Mushaf Yang Terkena Najis
1. Hukum menyucikan Al Qur'an yang terkena Najis.
Ulama sudah sepakat bahwa ketika hendak menyucikan najis yang terkena pada mushaf, maka wajib melihat kondisi dari najisnya tersebut, jika najisnya berupa najis yang tidak dima'fu/diampuni secara kebiasaan, maka wajib untuk menghilangkan najis tersebut.
وأفتى بعضهم في مصحف تنجس بغير معفو عنه بوجوب غسله وإن أدى إلى تلفه ولو كان ليتيم ويتعين فرضه على ما فيه فيما إذا مست النجاسة شيئا من القرآن ، بخلاف ما إذا كانت في نحو الجلد أو الحواشي.
Makna: Sebagian Ulama memberikan Fatwa terhadap Mushaf/Al Qur'an yang terkena najis yang tidak diampuni/dima'fu, yaitu dengan Wajib menghilangkan nya. Sekalipun (menyucikannya tadi) bisa merusak area Al Qur'an dan juga sekalipun Al Qur'an tersebut milik anak yatim. Hukum (menyucikan Al Qur'an dari najis) adalah fardlu ain/wajib bagi siapapun untuk mensucikan kembali Al Qur'an jika terkena najis, beda halnya jika najis tersebut mengenai jilidnya Al Qur'an, atau kertas yang tidak tertuliskan kalimat Al-qur'an.[1]
- Pengertian: jika anda menemukan Al Qur'an yang ternodai najis yang tidak diampuni, misalnya terkena kotoran cicak atau burung. Maka wajib bagi anda sebagai orang yang menemukan nya, yakni untuk menyucikan Al Qur'an tersebut, meskipun Al Qur'an tadi kemungkinan besarnya akan menjadi sobek atau rusak. Dan sekalipun Al Qur'an tadi miliknya anak yatim.
- Karena, menyucikan Al Qur'an dari najis merupakan kewajiban kita bersama dalam menjaga dan merawat Al Qur'an. Akan tetapi, jika najis tadi tidak mengenai huruf Al Qur'an nya, yaitu hanya Mengenai bagian pinggirannya saja, maka tidak usah menyucikan, karena tidak terhitung sebagai dari "Najis yang Mengenai Al Qur'an".
Dalam kitab I-Anatut-Thalibin juga dijelaskan:
وأفتى بعضهم في مصحف تنجس بغير معفو عنه بوجوب غسله ، وإن أدى إلى تلفه، ولو كان ليتيم ويتعين فرضه على ما فيه فيما إذا مست النجاسة شيئا من القرآن.
Makna: Sebagian Ulama memberikan Fatwa terhadap Mushaf/Al Qur'an yang terkena najis yang tidak diampuni/dima'fu, yaitu dengan Wajib menghilangkan nya. Sekalipun (menyucikannya tadi) bisa merusak area Al Qur'an dan juga sekalipun Al Qur'an tersebut milik anak yatim. Dan yang perlu diperhatikan ketentuan ini hanya berlaku ketika najisnya tadi mengenai ayat ayat Al Quran nya saja.[2]
Dalam pendapat yang lain juga dijelaskan:
تجب إزالة النجاسة من المصحف، ويلحق به كل اسم معظم وعلم محترم، وإن أدّى لتلفه وكان لنحو يتيم، ومحله إن مست النجاسة شيئاً من حروفه لا نحو جلده وحواشيه.
Makna: Diwajibkan menghilangkan najis yang terkena Al Qur'an dan sesuatu yang berhubungan dengan nama yang diagungkan dan ilmu yang dimuliakan. Sekalipun merusak bagian Mushaf yang dimiliki oleh anak yatim. Keadaan menghilangkan najis ini hanya berlaku jika menyentuh bagian ayat Al Qur'an saja yaitu dari huruf huruf nya, maka tidak usah menyucikan bagian pinggirannya dan Covernya.[3]
- Pengertian: maksudnya lafadz (ويلحق به كل اسم معظم وعلم محترم) adalah kita diwajibkan membasuh/menyucikan Al Qur'an dan segala macam buku yang memiliki hubungan dengan teks Al Qur'an dan yang terdapat ilmu ilmu yang dimuliakan. Seperti:
- Juz Amma.
- Kitab Alim Ulama.
2. Najis Yang Dima'fu
Jika mushaf terkena najis yang dima'fu maka dalam hal ini terdapat khilaf/perbedaan pendapat antara Alim Ulama, khilafnya ditafsil menjadi 2 bagian:
- Tetap Wajib Disucikan
- Tidak Wajib Disucikan
Masih didalam kitab Buhgyatul Mustarsyidiin:
نعم إن كانت النجاسة مما اختلف فيها كروث مأكول جاز تقليد القائل بطهارتها للضرورة ويضمن منجسه، وقول أهل السير إن دم عثمان رضي الله عنه ترك على المصحف لا يسلم، بل لعله أزيلت عينه بالدلك حتى بقي أثر يسير لا يمكن تطهيره بالماء. ـ اه.
Makna: Benar, Jika najisnya tadi sebagian dari najis yang masih diperdebatkan seperti kotoran hewan yang dapat dimakan maka diperbolehkan untuk Taqlid dengan kesucian najis tersebut, dikarenakan darurat. Dan perkataan para pakar sejarah adalah sesungguhnya darah Sayyidina Ustman masih tertinggal di dalam mushaf.
(Pendapat yang seperti itu) tidak dapat digunakan sebagai sandaran hukum, karena, mungkin saja dulu darah itu pernah dihilangkan 'ainiyahnya dengan cara digosok gosok hingga meninggalkan sedikit bekas disana yang tidak mungkin disucikan dengan air. Selesai.[4]
- Pengertian: hemat kami adalah, boleh anda mengikuti pendapat yang tidak dikategorikan sebagai najis sekalipun itu mengenai Al Qur'an, seperti kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, seperti: seluruh hewan laut, sapi, kambing, belalang dan sebagainya.