input license here

Janin dalam kandungan Menghilang, Apakah Harus Menjalankan Iddah?

Disusun bersama M. Rofiannur Al Hamaamuh.
Ini adalah suatu peristiwa yang jarang terjadi, tapi pada asal kenyataan adalah ini pernah terjadi dibeberapa daerah. Ada salah satu dari hamba Allah yang pernah menanyakan hal ini.
Kisah berawal, pada suatu hari ia bertemu dengan angin yang sangat besar, yang sehingga angin tersebut masuk kedalam alat kelaminnya (vagina) dan kemudian ketika ia mengecek kedokter, ternyata ia sedang hamil yang entah dari mana asal usul kehamilannya tersebut. Kemudian beberapa hari kemudian janin yang ada dalam kandungan nya itu menghilang tanpa sebab. 

Mari kita bahas ini, satu persatu, sebagai penambah ilmu pengetahuan kita bersama.

Janin dalam kandungan Menghilang, Apakah Harus Menjalankan Iddah?

Untuk jawaban lebih detailnya mari kita rinci pertanyaan tersebut menjadi beberapa bagian dan kita ambil point-point utamanya saja.

Contoh gambar janin sebagaimana dibawah ini.
hukum janin dalam kandungan menghilang
Janin adalah salah satu mamalia yang berkembang setelah masa embrio terjadi asal mula janin bisa terbentuk dari hasil sperma yang masuk kedalam rahim ibu. Gambar diatas adalah contoh janin. Ukuran img: 720x757

1. Jika anak itu lahir Ber-nasab kepada siapakah anak tersebut?

Jawabannya adalah Ber-nasab kepada ibunya yang telah mengandungnya, sebab wanita siapa saja yang hamil diluar pernikahan, maka nasabnya mengikuti ibunya.

Sebagaimana keterangan yang telah tertera dalam kitab Hasyiyah Al Baijuri:

(قوله وأما المرأة فلا يحل لها ولدها من الزنا) بل يحرم عليها وعلى سائر محارمها ويرث منها وترث منه بالإجماع والفرق بين الرجل حيث لا تحرم عليه البنت المخلوقة من ماء زناه وبين المرأة حيث يحرم عليها الولد المخلوق من ماء زناها أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها والولد انفصل من المرأة وهو انسان كامل٠

Makna: Penjelasan redaksi ---- Bagi seorang perempuan tidak halal (mengawini) anak hasil zina bahkan haram baginya dan bagi semua mahramnya. Dan anak zina bisa mewarisi darinya demikian sebaliknya menurut Ijma’ Ulama’. Perbedaan antara laki-laki (yang menzinahi) tidak haram mengawini anak perempuan hasil dari air maninya dan antara perempuan yang haram mengawini anak laki lakinya yang juga dihasilkan dari air maninya, adalah anak perempuan yang berpisah dari seorang laki laki itu merupakan air sperma kotor yang tak terbungkus sementara anak laki laki yang pisah/terlahir dari seorang perempuan adalah manusia yang sempurna.[1]

Dalam kitab Al Hawi Al Kabir pun dijelaskan:

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزانية خلية وليست فراشا لأحد يلحقها ولدها فمذهب الشافعي أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي، وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بعد قيام البنية وبه قال ابن سيرين وإسحاق ابن رَاهَوَيْهِ, وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادعاه بعد الحد ويلحقه إذا ملك الموطوة وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ,

Makna: Adapun Wanita yang berzina yang statusnya tidak dalam ikatan pernikahan, dan tidak memiliki Suami, maka Anak hasil zina itu dinasabkan pada Wanita tersebut.  Adapun menurut Madzhab Syafi'i, sesungguhnya Anak hasil zina itu tidak dinasabkan pada laki-laki yang menzinai meskipun laki-laki yang menzinai itu mengakuinya. Imam Hasan Al-Bashri berkata : "Anak hasil zina itu dinasabkan kepada Orang yang menzinai apabila Dia mengakuinya setelah adanya bukti. Pendapat ini juga disampaikan oleh Ibnu sirin dan Ishaq bin Rahawaih.[2]

2. Ada orang pintar yang mengatakan, Bahwa anak tersebut adalah janin dari hasil pindahan dari janin wanita lain, jadi anak tersebut status ibunya ke siapa?

Jawabannya adalah anak tersebut itu, tetap menjadi status ibu yang melahirkan nya, bukan dari wanita yang telah memindahkan tersebut, sebab yang melahirkan anak itu adalah orang yang mengandungnya dan melahirkan nya. Dan yang utama adalah kita tidak boleh sesekali mempercayai perkataan orang pintar tersebut, jika kita membenarkannya maka hukumnya adalah Haram.

Dalam kitab Al Umm dijelaskan:

٠(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ وَلَدَتْ امْرَأَةٌ حَمَلَتْ مِنْ الزِّنَا اعْتَرَفَ الَّذِي زِنَا بِهَا أَوْ لَمْ يَعْتَرِفْ فَأَرْضَعَتْ مَوْلُودًا فَهُوَ ابْنُهَا وَلَا يَكُونُ ابْنُ الَّذِي زَنَى بِهَا وَأَكْرَهُ لَهُ فِي الْوَرَعِ أَنْ يَنْكِحَ بَنَاتِ الَّذِي وُلِدَ لَهُ مِنْ زِنًا كَمَا أَكْرَهُهُ لِلْمَوْلُودِ مِنْ زِنًا وَإِنْ نَكَحَ مِنْ بَنَاتِهِ أَحَدًا لَمْ أَفْسَخْهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِابْنِهِ فِي حُكْمِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَهَلْ مِنْ حُجَّةٍ فِيمَا وَصَفْت؟ قِيلَ نَعَمْ: «قَضَى النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِابْنِ أَمَةَ زَمْعَةَ لِزَمْعَةَ وَأَمَرَ سَوْدَةَ أَنْ تَحْتَجِبَ مِنْهُ لِمَا رَأَى مِنْهُ مِنْ شَبَهِهِ بِعُتْبَةَ فَلَمْ يَرَهَا» وَقَدْ قَضَى أَنَّهُ أَخُوهَا حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِأَنَّ تَرْكَ رُؤْيَتِهَا مُبَاحٌ وَإِنْ كَانَ أَخًا لَهَا وَكَذَلِكَ تَرْكُ رُؤْيَةِ الْمَوْلُودِ مِنْ نِكَاحِ أُخْتِهِ مُبَاحٌ وَإِنَّمَا مَنَعَنِي مِنْ فَسْخِهِ أَنَّهُ لَيْسَ بِابْنِهِ إذَا كَانَ مِنْ زِنًا٠

Makna: Imam as Syafi'i berkata : "Maka apabila seorang yang mengandung dari zina melahirkan, baik Laki-laki yang menzinai itu mengaku ataupun tidak, kemudian perempuan tadi menyusui anak yang dilahirkan maka anak yang dilahirkan adalah anaknya dan bukan anaknya laki-laki yang menzinai.

Dan Saya benci bagi seorang wira'i untuk menikahi para perempuan yang dilahirkannya dari zina, sebagaimana Aku membencinya untuk anak-anak yang dilahirkan dari zina, dan apabila laki-laki tadi menikahi satu dari beberapa anak perempuannya (secara biologis) maka Aku tidak merusaknya, karena Dia bukan anaknya menurut hukumnya Rosulullah SAW, maka apabila ada orang yang bertanya:" Apakah ada hujjah terhadap apa yang kau jelaskan ?", maka dijawab "iya ada" Nabi Muhammad Saw memutuskan anak budaknya zam'ah untuk zam'ah, dan memerintahkan pada Saudah untuk berhijab darinya, karena terdapat sesuatu yang dilihat Nabi, berupa keserupaanya dengan 'Utbah, kemudian Nabi tidak melihatnya" dan Nabi memutuskan bahwa anak budak perempuannya zam'ah sebagai saudaranya, sampai zam'ah bertemu dengan Allah SWT, karena meninggalkan melihat zam'ah itu boleh, walaupun anak budak perempuannya zam'ah itu saudara zam'ah, begitu pula meninggalkan melihatnya anak yang dilahirkan dari menikahi saudaranya itu boleh, saya dilarang untuk menfasakh nikah itu hanya karena Dia itu bukan anaknya ketika hasil dari zina.[3]

Dalam kita ensiklopedia fiqih Islam, yaitu kitab Maushuatul-Fiqhiyyah dijelaskan juga: 

ب - الْكِهَانَةُ؛
٣ - الْكِهَانَةُ: هِيَ تَعَاطِي الْخَبَرِ عَنِ الْكَائِنَاتِ فِي الْمُسْتَقْبَل، وَادِّعَاءُ مَعْرِفَةِ الأَْسْرَارِ (٣)٠
وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْكَاهِنِ وَالْعَرَّافِ: أَنَّ الْكَاهِنَ مَنْ يُخْبِرُ بِوَاسِطَةِ النَّجْمِ عَنِ الْمَغِيبَاتِ فِي الْمُسْتَقْبَل، بِخِلاَفِ الْعَرَّافِ فَإِنَّهُ الَّذِي يُخْبِرُ عَنِ الْمَغِيبَاتِ الْوَاقِعَةِ (٤) أَيْ: فِي الْمَاضِي.
وَقِيل: الْكَاهِنُ أَعَمُّ مِنَ الْعَرَّافِ؛ لأَِنَّ الْعَرَّافَ يُخْبِرُ عَنِ الْمَاضِي، وَالْكَاهِنُ يُخْبِرُ عَنِ الْمَاضِي وَالْمُسْتَقْبَل (٥)٠

Makna: B. Al-Kihanah
3. Al-Kihanah ialah mengambil kabar dari alam semesta pada masa yang akan datang, dan mengaku mengetahui rahasia-rahasia.

Perbedaan antara Al-Kahin dan Al-'Arraf bahwasanya Al-Kahin ialah Orang yang mengabarkan berbagai perkara ghaib yang akan terjadi dengan pelantara bintang-bintang. Berbeda dengan Al-'Arraf yang mengabarkan kabar ghaib yang sudah terjadi. Dan dikatakan, Al-Kahin lebih umum daripada Al-'Arraf, karena Al-'Arraf mengabarkan perkara yang sudah terjadi sedangkan Al-Kahin mengabarkan perkara yang sudah dan akan terjadi.[4]

Dalam kitab, Kifayatul-akhyar:

من أَتَى عرافاً لم تقبل لَهُ صَلَاة أَرْبَعِينَ يَوْمًا) وَرِوَايَة مُسلم ٠(من أَتَى عرافاً فَسَأَلَهُ عَن شَيْء فَصدقهُ) وَلَو أخبرهُ مخبر بِأَن صلَاته وَقعت قبل الْوَقْت نظر إِن أخبرهُ عَن علم أَو مُشَاهدَة وَجَبت الْإِعَادَة وَإِن أخبرهُ عَن اجْتِهَاد فَلَا وَالله أعلم.

Makna: (Barang siapa mendatangi 'Arraf maka tidak diterima sholatnya selama 40 hari) dan didalam riwayat Muslim (barang siapa mendatangi'Arraf, lalu menanyakan sesuatu padanya kemudian membenarkannya), dan apabila Orang yang memberi kabar bahwasanya sholatnya terjadi sebelum waktunya maka dilihat, apabila yang dikabarkan dari suatu ilmu atau penglihatan, maka wajib sholat kembali, dan apabila yang dikabarkan dari sebuah ijtihad, maka tidak usah sholat kembali.[5]

3. Terkait dengan pindah memindah janin orang hamil, bagaimana iddah Wanita hamil jika tanpa melahirkan, tapi Janin tersebut hilang begitu saja ?

Jawabannya adalah ia tidak usah melakukan Iddah dan juga masa nifas, sebab ia tidaklah melahirkan.

الأَصْل فِي وجوب الْعدة قَوْله تَعَالَى {والمطلقات يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَة قُرُوء}٠ وَجُمْلَة ذَلِك أَن الزَّوْجَة يجب عَلَيْهَا الْعدة بِطَلَاق الزَّوْج أَو بوفاته.

Makna: Dasar wajibnya Iddah ialah firman Allah SWT {Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru}'. Dan kesimpulannya ialah seorang Istri wajib menjalani Iddah sebab ditalak Suami atau karena wafatnya.[6]

باب النفاس:
" وهو الدم الخارج بسبب الولادة وحكمه حكم الحيض "

Makna: Bab nifas: Nifas adalah darah yang keluar sebab melahirkan hukumnya sama sebagaimana hukumnya keluar darah haid.[7]

قَوْلُهُ: (النِّفَاسِ) سُمِّيَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ يَعْقُبُ نَفْسًا غَالِبًا كَمَا مَرَّ، وَهُوَ لُغَةً الْوِلَادَةُ أَيْ وَنَحْوُهَا وَشَرْعًا مَا ذَكَرَهُ كَمَا عُلِمَ.

Makna: Perkataan Mushonnif : (Nifas) dinamakan demikian karena nifas mengikuti jiwa secara lumrah seperti keterangan yang telah lewat. Nifas secara bahasa ialah melahirkan atau semisalnya dan secara syara' ialah apa yang telah dijelaskan seperti yang telah diketahui.[8]

4. Seandainya ia menikah pada fase hamil, apakah sah hukumnya?

Jawabannya adalah hukum pernikahannya adalah sah, akan tetapi ketika menjima'nya hukumnya makruh menurut qoul yang Ashah.

٠(فرع) لو نكح حاملاً من الزنا صح نكاحه بلا خلاف. وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان أصحهما نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد٠

Makna: (Cabang) Jika seorang mengawini Perempuan hamil dari perzinahan maka hukumnya sah, dan apakah oleh menjima'nya sebelum melahirkan ? Hal ini ada dua pendapat; qoul yang paling shoheh adalah membolehkan karena sudah tidak ada keharaman lagi bagi yang menikahi dan Ibnu al Haddad telah melarang untuk menjima’nya.[9,10,11,12]

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates